it's been a month already but i'm still a bit sad about it. yet i am happy too knowing that i am going to watch Weathering with you. Who would thought the release date of the soundtrack would be the same day when that arson attack happened to Kyoto Animation?

That time i was really sad, it made me not in a good mood for a week. i felt like crying but i could not. Why it had to be KyoAni? it was Kyoto Animation office of all places. And the song: Is there still anything love can do? from RADWIMPS made me sad even more, the music, the lyrics. and i am not the only one, everyone was praying to KyoAni while listening to this song that time.

i really like KyoAni artwork, it's not like i like all of their anime, but i love and amazed but how beautiful they made it, the colors, the details, the expression, sometimes it looks like those characters have more emotion than me. I admit that i watched KyoAni anime ilegally (another anime too), that's why starting last year i bought the original DVD, the mangas, the books, etc. i am sorry.

i like KyoAni to the point that i want to go to Kyoto just to say thank you for the staff, i am very thankful for all their hardwork, it might just work for them, but for me, their anime helps me a lot. i even wanted to work as a cleaner there because i know it's kinda impossible to be their animator xD

i made a plan to go to Japan before, but i kept cancelling it saying to myself that i can do that later. Now it's too late, win.

someday, when i go to Kyoto, Kyoto Animation will be in a different place. But i will still go to the old office. Maybe there's nothing there, but i don't care

Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya xD, karena pagi ini aku ke Hotel Grand Aston untuk menghadiri Acer Day. Jadi, hari ini merupakan Acer Day dan untuk merayakan hadirnya Acer di Indonesia yang sudah 20 tahun, Acer meluncurkan produk yang sesuai dengan kebutuhan anak jaman sekarang khususnya yang berkecimpung di dunia industri kreatif dengan tema XtraFun dan XtraCool.

Setelah mengisi data di meja registrasi dan menikmati coffee break, acarapun dimulai. Pak Herbert Ang sebagai Presiden Direktur Acer Indonesia turut hadir menceritakan sedikit tentang perjalanan Acer selama di Indonesia dan mengenalkan beberapa produk terbaru dari Acer yang salah satu diantaranya masih jadi yang pertama di dunia!

20 tahun ada dengan laptop dan lini produk lainnya, tidak lupa dengan customer service yang maksimal kepada pengguna, membuat Acer Indonesia mendapat penghargaan Top Brand Award di kategori Laptop/Notebook dari tahun 2008 sampai 2019. Tidak hanya itu, Acer Indonesia juga mendapatkan penghargaan dari ICSA (Indonesian Customer Satisfaction Awad) sejak tahun 2008 sampai tahun 2017.

Dari beberapa laptop yang diperkenalkan ada tiga yang paling utama yaitu Acer Swift 3, laptop gaming Predator Nitro 5, dan ConceptD (yang ini buat penasaran ya)

Acer Swift 3 merupakan lini laptop tipis dengan desain yang menurut aku keren dan stylish, mungkin karena warnanya memang aku udah suka hahaha. Layar 1080HD, daya baterai yang bisa tahan sampai 12 jam, kapasitas RAM 8GB yang termasuk besar, dan Intel Core i5 generasi ke-8.

Acer Swift 7, laptop berukuran 14inch ini mungil dan gampang dipegang seperti memegang tablet. Pak Herbert menjelaskan bahwa mereka mendesain Acer Swift 7 sedemikian rupa sehingga terlihat seperti 12inch padahal sebenarnya 14inch. Untuk blogger atau penulis aku rasa ini cocok karena ga ribet dibawa kemana-mana (beratnya ga sampai 1kg cuy).

Nah, di Acer Day ini ada promo sampai 30 September 2019, ada cashback setengah juta rupiah untuk pembelian seri Swift, tidak hanya itu, satu printer Canon PIXMA pun langsung diberikan untuk setiap pembelian Swift 3. Harga Acer Swift 3: Rp,6.499.000 (setelah cashback)

Di Acer Day, tahun 2019, untuk pertama kalinya Acer memperkenalkan lini produk yang dikhususkan untuk creator yaitu ConceptD. ConceptD hadir dengan prosesor terbaru dan spesifikasi lain yang canggih agar para kreator dapat berkarya dengan lancar tanpa hambatan. Oh ya, kipas di dalam laptop juga dirancang dengan sistem fanless agar suaranya tidak berisik, hanya 40db!

Selain itu ada 20 laptop Acer Swift 3, 200 Predator Gaming Headset, dan 2000 Nitro Backpack.

Sydney tidak hanya menarik karena pantai, taman, mall, Harbour Bridge, dan Sydney Opera House saja. Sejujurnya, aku justru ke Sydney Opera House dan Harbour Bridge di hari ketiga setelah sampai ke Sydney, itupun karena diajak xD. Sebagai orang yang tidak pernah memasukkan Sydney ataupun kota lain di Australia di "daftar tempat yang ingin dikunjungi suatu saat nanti", tidak ada ekspektasi atau tujuan tertentu selain mencoba untuk bertahan hidup disini.

Seminggu sebelum kembali ke Medan aku tidak melanjutkan kontrak kerja karena ingin lebih santai keliling Sydney. Suatu hari yang biasa biasa saja dengan sedikit lapar, seorang teman menunjukkan foto sebuah gang dengan kumpulan sangkar burung tergantung di atas dan mengajakku kesana. Setelah mencari info di internet, kami menemukan alamatnya.

Angel Place, walaupun tadi aku menyebutnya gang tapi bayangkan saja gang yang lebih besar. Aku kira ini cuma sebatas "tempat foto kece di Sydney", ketika kami berjalan mendekat ke bawah sangkar, suara kicauan burung mulai terdengar. Aku mendongak ke atas dan melihat sangkar yang semuanya kosong, eh?

Aku berjalan sampai ke ujung, sisi kiri merupakan sisi outdoor sebuah restoran dan di ujung sisi kanan terpasang keterangan tentang kumpulan sangkar kosong ini, Forgotten Songs.

Forgotten Song merupakan instalasi seni berupa kumpulan sangkar burung kosong dengan rekaman 50 suara burung yang dulunya di tengah kota Sydney. Burung-burung itu bermigrasi meninggalkan Sydney ketika daerah itu mulai dihuni oleh pendatang dari Eropa. Tapi masih ada 2-3 spesies yang masih bisa ditemukan di kota seperti white ibis, sulphur crested cockatoos, mynahs, dan merpati.

Forgotten Songs merupakan karya seni kolaborasi antara seniman Michael Thomas Hill, peneliti Dr Richard Major, perancang Richard Wong, dan programmer Dave Towey. Di bagian bawah terdapat nama-nama spesies burung yang aku tidak sempat hitung berapa nama burung yang terukir disana, mungkin tepat 50 mungkin kurang.

Inilah hal menarik yang aku temukan di Sydney, instalasi seni yang digarap secara serius. Forgotten Songs tidak sebatas sangkar burung instagramable di tengah kota Sydney. Suara burung yang terdengar sebelumnya adalah suara tiap spesies burung yang direkam oleh peneliti, tidak hanya itu, ternyata suara burung yang diputar di siang hari berbeda dengan malam hari (dikhususkan untuk yang nokturnal saja)

Ga cuma dapat foto yang menarik, tapi ada yang bisa dipelajari dari instalasi seni yang mereka buat. Instalasi seni tersebar di kota Sydney dan untuk lebih memudahkan, semua informasi ada di situs resmi mereka yang dikelola dengan baik. Mungkin ketika berkunjung ke Sydney lagi, aku akan mencari instalasi seni lainnya.

Sepulang dari Sabang, kami tidak langsung beranjak meninggalkan Banda Aceh. Kami sempat menginap di rumah kerabat teman kami untuk keliling Aceh esok harinya. Perjalanan kami kali ini agak jauh yaitu Geurutee. Dari pusat kota menuju Geurutee membutuhkan waktu sekitar dua jam. Dengan mobil, kami mulai berangkat sekitar jam 10 pagi.

Jalanan yang tadinya ramai dengan mobil dan motor, dikelilingi pohon di sisi kanan dan kiri, berubah menjadi sepi, lebih luas, dan tidak tertutup oleh pohon lagi. Kami sempat berhenti sebentar untuk membeli minuman dan selagi meregangkan otot yang mulai kaku karena terlalu lama duduk, seekor anak kambing mendekati mobil kami. Mungkin warga di sekitar sini sangat ramah terhadap kambing sehingga bukannya berlari menjauh, si kambing malah mendekati kami walaupun tetap saja menjauh jika kami yang berjalan mendekat (yaahh ga bisa elus elus deh).

Namanya naik ke puncak gunung, pemandangan yang tadinya pantai masih sejajar dengan kami berubah menjadi lebih indah ketika dilihat dari atas. Tidak hanya pasir dan air, pemandangan jadi terlihat lebih indah karena adanya banyak pohon dan rumah warga di antaranya, menciptakan pemandangan dengan kombinasi warna biru laut, kuning pucat pasir pantai, hijau tua dan muda dari pohon, serta cokelat dari atap rumah warga.

Kami berhenti di salah satu warung dan langsung memesan minuman karena haus yang kembali muncul padahal sempat diganjal sebentar tadi. Sebagian memesan Kelapa dan sebagian lagi memesan Kopi Terbalik.

Angin berhembus dengan sejuk menghilangkan gerah selama perjalanan. Rasa capek pun sedikit hilang ketika duduk di pinggir warung sambil melihat pinggir pantai dari atas sepaket dengan kumpulan pohon dan gunung yang terletak di paling ujung. Di bawah sana juga terlihat 2-3 orang dengan sampan kecilnya yang malah jadi terlihat seperti semut dengan kapal mainan hahahah.

Sebenarnya di saat haus dan sedikit gerah ini, minuman dingin paling pas untuk dinikmati. Tapi demi minum kopi yang cara penyajiannya unik ini, pesanan tidak aku ubah. Aku meminta es batu untuk di kelapa sayangnya saat itu tidak tersedia es batu dan sedikit kecewa juga dengan kelapanya karena dagingnya yang cukup keras, yang aku akhiri dengan meminum airnya saja.

Santai menikmati pemandangan sambil meneguk minuman ntah kenapa rasanya masih belum cukup. Aku dan saudaraku berjalan di sekitar warung sampai ke parkiran mobil dan menemukan tangga di bawah tulisan besar "Puncak Geurutee Aceh Jaya". Kenapa tadi tempat ini ga keliatan ya?

Sepertinya tangga menuju ke atas cukup tinggi dan bakal melelahkan, tapi mumpung lagi disini. Aku coba naik bersama saudaraku yang akhirnya diikuti juga oleh seorang teman. Ternyata tidak terlalu tinggi hanya saja bentuk anak tangga tidak beraturan jadi harus hati-hati agar tidak terpeleset.

Sampai di puncak kami disuguhi dengan pemandangan yang indah juga. Masih dengan pantai juga tapi dengan bonus dua pulau yang jadi terlihat berdekatan. Matahari cukup terik siang itu tapi rasanya sayang kalau cepat cepat kembali turun, jadi aku biarkan saja kulit sedikit terbakar demi menyimpan pemandangan puncak Geurutee sambil memicingkan mata (asli silau brooo)

Sudah saatnya untuk beranjak dari Geurutee karena kami masih punya destinasi lain untuk dituju. Rasanya puncak Geurutee ini pantas untuk menjadi tempat yang wajib dikunjungi di Aceh. Kalau aku punya kesempatan untuk kembali Geurutee, dengan senang hati aku kembali.

22 Desember 2018

Ini kenapa jadi bahas Indomie ya? Padahal rencana terakhir itu mau cerita soal nonton konsernya 5SOS di Melbourne. Tapi ntah kenapa Indomie ini terus yang di pikiran jadi mungkin harus dituntaskan dulu biar bisa cerita yang lain 😆

Awalnya ga kepikiran untuk mencari perbedaan Indomie di tiap kota, toh kalau keluar kota sebisa mungkin aku coba makanan khas kota itu walaupun, untuk beberapa kuliner khas kota lain kita udah bisa nemuin di kota kita sendiri di beberapa restoran atau hotel.

Ini bermula waktu lagi ke Bali dan diajak teman ke salah satu warmindo (warung makan Indomie) di Denpasar. Karena malam, walaupun tidak terlalu dingin tapi rasanya jadi mau makan Indomie Kuah. Aku pesan seporsi Indomie Kuah dengan telur. Sambil menunggu aku dan teman menyantap beberapa tusuk sate yang ada di setiap meja, ada sate telur puyuh, usus, dan kakul (sejenis keong atau siput).

Indomie Kuah datang dan yang muncul di pikiran ku adalah: "uumm.. serius gini doang indomie nya?" Jadi, ternyata, Indomie Kuah dengan telur di sana disajikan seperti yang biasa aku masak sendiri di rumah. Indomie yang direbus dengan air panas, telur, dan bumbu Indomie nya. Udah, itu aja. Ga ada printilan seperti Sawi, Bawang Merah, Cabai, atau bawang goreng seperti yang biasa aku nikmati di Medan. Yah ga salah juga sih abang yang jualan kan udah sesuai menu, Indomie Kuah + Telur.

Indomie Kuah Telur ala Denpasar ini membuat aku teringat dengan salah satu postingan tentang Indomie di salah satu kota di Indonesia bagian timur, penyajiannya juga sedikit berbeda dengan di Medan dan aku jadi berpikir "kira-kira di kota lain Indomie Kuah bakal dimasak gimana ya?"

Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku ke Jogja. Di penghujung hari, aku teringat soal Indomie kuah ini dan menyempatkan diri untuk menikmati sekaligus membandingkan Indomie Kuah di Jogja dengan kota lain. Aku makan di salah satu warmindo yang tidak jauh dari tempat aku menginap. Seperti apa Indomie Kuah di Jogja? Indomie Kuah ala Jogja hadir dengan kuah yang cukup jernih, dengan sedikit sayur sawi di atasnya. Awalnya aku kira disajikan begini karena di warmindo ini aja, besoknya aku coba makan siang indomie Kuah di warmindo lain dan disajikan begitu juga.

Satu lagi, Indomie Kuah yang pernah aku coba itu di Banda Aceh. Nah kalau disini, Indomie Kuah Telur itu dimasak dengan menambahkan bumbu yang biasa digunakan Mie Aceh. Rasanya jadi lebih pedas dari biasanya dan terkadang rasa dan aroma dari bumbu Indomie nya hilang.

Sejauh ini, Indomie Kuah Telur yang pernah aku coba masih Medan, Banda Aceh, Denpasar, Yogyakarta. Sayang sekali waktu ke Makassar tahun lalu ga kepikiran coba Indomie Kuah nya, terlalu fokus sama Coto sih 🤣

Tambah lagi satu obsesi nirfaedah ku selain mencoba makanan khas di kota nya langsung, yaitu mencoba Indomie Kuah di tiap kota hahahah

*Indomie Goreng ga terlalu menarik untuk dicoba karena sejauh ini tidak terlalu berbeda penyajiannya walaupun untuk rata-rata enak.

Yak, kembali lagi ke satu minggu satu suburb. Karena waktu itu aku tinggal di Cabramatta, beberapa ujung Line jadi lebih mudah dijangkau jika dibandingkan dengan waktu masih tinggal di Redfern.

Penrith menjadi tujuan akhir pekan waktu itu. Selain karena Penrith merupakan salah satu ujung Line T1, ada Lush Store di pusat perbelanjaan Westfield Penrith yang tidak jauh dari stasiun. Cuaca cerah dengan matahari yang terik, tapi karena masih winter, tetap aja dingin dan suhu bakal turun lagi di sore hari. Aku tetap dengan jaket tebal karena tidak tahan dingin sedangkan sebagian orang malah hanya mengenakan kaos tipis.

Dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari Cabramatta ke Penrith

"Ga jauh juga, mirip mirip lah Cabramatta ke Central" pikirku ketika melihat estimasi waktu di aplikasi TripView.

Aku ke Penrith bersama seorang teman dan dari Cabramatta kami harus ke salah satu stasiun dulu untuk pindah platform (kalau ga salah stasiun Seven Hills). Sampai di Penrith dengan cuaca yang tetap cerah hanya saja angin berhembus cukup kencang sehingga rasanya jadi semakin dingin. Dengan petunjuk Google maps, kami ke Westfield Penrith yang jaraknya cuma 5 menit dengan berjalan kaki.

Aku langsung ke Lush Store untuk membeli titipan saudaraku. Setelah mengambil produk yang mau dibeli, aku ke kasir untuk membayar. Disaat mau keluar, satu pegawai Lush sedang demonstrasi salah satu produk di depan anak anak, aku lupa produk apa tapi warnanya biru dan penuh busa ketika dituang dari satu wadah ke wadah lain. Terlalu asik melihat anak kecil yang tertawa sambil bermain juga sesekali bertanya, aku jadi lupa mengabadikan momen itu.

Kami duduk di food court untuk makan siang. Dan setelah menyantap Sushi, Fettucini, dan Nugget ayam kami keluar dari Westfield Penrith. Kami tidak cuci mata disana karena kami bukan tipe yang suka berlama-lama di mall 😆

Dilihat dari peta, ada sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Westfield Penrith, sekitar 30 menit jalan kaki. Angin semakin kencang karena sudah sore tapi karena rasanya malas keliling di mall, kami coba berjalan kesana. Kami berjalan luruuuusss aja sampai tiba di sungai Nepean. Kami ke sisi seberang sungai lewat jembatan Victoria. Walaupun kecil, tetap aja ada ruang untuk pejalan kaki padahal dari yang aku amati daerah sekitar sini bukan tempat yang biasa dilalui orang dengan berjalan kaki.

Sampai di seberang kami turun ke bawah jembatan untuk melihat sungai Nepean lebih dekat lagi. Tidak ada yang spesial, bagian bawah dan beberapa dinding jembatan hampir penuh dengan coretan mural dan ada sedikit sampah yang mungkin dibuang orang yang juga keliling sampai ke bawah jembatan. Kami sempat kaget ketika kereta lewat di atas kami. Tapi, menikmati sungai dari bawah jembatan cukup asik juga sepertinya hanya saja untuk ke tepi sepertinya cukup berbahaya jadi mungkin bisa aku coba di sungai lain aja.

Kami kembali ke jalan besar dan berjalan melewati tanah lapang yang sedikit berbukit, matahari mulai terbenam dan tidak disangka matahari terbenam dengan cukup indah disini.

Waktunya pulang, kami mengecek di peta sudah sejauh mana kami berjalan daaannn yak jauh ternyata untuk kembali ke stasiun Penrith. Tidak ada bus di sekitar sana dan stasiun yang lebih dekat adalah stasiun Emu Plains, kami melanjutkan perjalanan sekalian pulang ke Emu Plains.

Tidak banyak yang bisa dilihat di Emu Plains, hanya beberapa rumah, toko dan restoran. Mungkin juga karena kami hanya menjelajah di sekitar stasiun. Kami sempat melewati kedai kopi berbentuk bus bernama The Carriage di sebelah sebuah restoran. Kami sampai di stasiun dengan keadaan kedinginan dan haus juga lapar. Ada makanan ringan yang sempat dibawa tapi setelah dimakan yang ada kami jadi semakin haus 🤣, tidak ada tap water disana dan kereta datang sekitar setengah jam lagi.

Setelah kereta datang menjemput, kami buru-buru naik karena kedinginan dan walaupun sudah capek, kami memutuskan untuk singgah di Auburn untuk menikmati segelas Cappuccino hangat dengan satu loyang pizza keju ukuran sedang.

Jadi, mengingat sisa waktu Work and Holiday Visa tinggal tiga bulan lagi dan bakal dihabiskan di Sydney, aku buat satu kegiatan mingguan. Namanya 1 minggu 1 suburb, terserah suburb mana yang penting yang belum pernah dijelajahi. Kalau pun itu suburb yang udah pernah aku kunjungi sebelumnya, tak apa yang penting coba jelajahi sisi yang belum pernah aku singgahi.

Kalau ga salah waktu itu hari Minggu, setelah nyuci, makan siang, bersihin kamar, dan beres beres lainnya. Saatnya jelajah suburb! Aku ke stasiun Cabramatta platform 1. Rencananya aku mau coba berhenti di stasiun terakhir salah satu line dan dari layar, ada dua yang kira-kira bisa aku pilih, Quakers Hill dan Richmond. Dua-duanya tidak terlalu jauh tapi kalau dibandingkan, Richmond lebih jauh. Karena waktu itu sudah pukul 2-3 siang, aku pilih Quakers Hill yang lebih dekat biar pulangnya ga kemalaman.

Enaknya di Cabramatta Station (aku sempat tinggal di Cabramatta selama 3 bulan) adalah, walaupun cuma punya dua platform, tapi stasiun ini dilewati banyak jalur dan untuk ke Quakers Hill, tinggal menunggu yang Line T5 biar ga repot pindah pindah platform di stasiun lain. Kereta dengan tujuan akhir Quakers Hill pun datang dan ternyata yang datang kereta dengan gerbong sedikit, mungkin karena stasiun-stasiun yang akan dituju adalah stasiun yang tidak ramai.

Betul memang, ga banyak yang naik jadi memilih bangku pun bebas mau duduk dimana aja. Aku pilih di bawah tapi dekat dengan pintu kereta. Waktu yang dibutuhkan dari Cabramatta ke Quakers Hill sekitar 45 menit melewati 14 stasiun.

Aku pun sampai di stasiun Quakers Hill, waktu itu matahari agak terik tapi ada angin jadi ga panas. Aku keluar dari stasiun dan memilih ke arah kanan untuk mulai berjelajah. Sepertinya banyak orang India yang tinggal disini karena ada beberapa restoran India. Aku jalan sampai ke jembatan kecil dekat supermarket dan...

Uumm... Ini aja?

Jalanan sepi, kalau jalan terus melewati jembatan yang ada hanya rumah warga. Sempat terdiam berdiri berpikir mau lanjut atau balik ke stasiun, aku pilih yang kedua.

Masih ada waktu sekitar 15 menit menunggu kereta selanjutnya datang, tapi daripada keliling sedikit lagi, aku lebih memilih duduk di stasiun sambil memikirkan naik kereta menuju pulang atau mencari suburb lain untuk dijelajahi.

Mau pulang rasanya tanggung dan belum lama juga keluar, aku melihat ke layar dan di platform 2 akan datang kereta dengan tujuan akhir ke Richmond. Perlu sekitar setengah jam dari Quakers Hill ke Richmond tapi karena sepertinya masih sempat, sore ini lanjut ke Richmond.

Lebih sepi dari yang sebelumnya. Hanya sekitar 5-6 orang yang naik. Ntah la, mungkin sebagian warga yang tinggal cukup jauh dari pusat kota lebih memilih untuk mengendarai mobil mereka masing-masing atau memang tidak banyak yang tinggal di sekitaran sana.

Pemandangan pun mulai berubah, yang tadinya rumah rumah warga atau beberapa toko yang buka di dekat stasiun. Kali ini lebih banyak ladang. Sebelum sampai stasiun Schofield, beberapa kuda yang sedang makan menjadi pemandangan sore minggu ini. Di stasiun Riverstone, terlihat menarik karena punya kesan seperti stasiun lama. Seterusnya sampai Richmond pemandangan tidak jauh berbeda, ada kebun kecil, ladang, hingga tanah kosong.

Aku sampai di stasiun Richmond yang cuma punya 2 platform tapi luas. Sangat sedikit yang turun dan sepertinya mereka adalah orang yang memang tinggal disini. Aku cek di aplikasi jadwal kereta di Sydney (TripView) dan kereta di Richmond ada setiap setengah jam.

Aku berjalan ke arah gerbang keluar di dekat platform 2 dan ketika hampir sampai aku menoleh melihat kereta yang mulai berangkat. Mata tertuju ke rel yang cuma samlai di dekat gerbang keluar.

Wwuoohh ujung reellll!!!!!

Akhirnya ketemu jugaaa hahahahahah

Ada apa emangnya dengan ujung rel?

Sebenarnya ga ada apa apa, cuma dulu aku sempat penasaran aja mau kiat ujung rel kereta di Sydney. Pernah lihat satu di sekitaran kota tapi karena di sebelahnya masih ada beberapa rel lain, rasanya kurang aja. Pingin lihat yang mentok abis ga ada lanjutannya lagi 😆. Pernah ke salah satu stasiun terakhir di Line T2, Leppington tapi ternyata relnya masih nyambung.

Setelah puas melihat ujung rel 🤣🤣 aku keluar dan berjalan ke arah kiri stasiun. Richmond tenang dan sepi, tidak terlalu banyak penduduk. Beberapa rumah terlihat sudah cukup lama dan yang lainnya berupa tipikal rumah daerah suburb yang cuma berlantai 1 dengan halaman.

Aku keliling sedikit sampai balik ke taman yang ada di seberang stasiun, Richmond Park. Richmond Park cukup besar, di beberapa sisi ada pohon, bangku, dan taman bunga kecil dengan air mancur di dekat Richmond and District Memorial. Beberapa warga terlihat jalan jalan sore bersama keluarga membawa anjing kesayangannya, ada juga yang olahraga sore. Sempat melihat beberapa anak yang lari dengan seragam hijau yang seoerseper seragam pramuka mereka, mau foto tapi udah terlanjur kejauhan.

Lanjut keliling, aku jalan ke Windsor Street yang ga jauh juga dari stasiun mengingat kalau ketinggalan bakal harus nunggu setengah jam untuk kereta selanjutnya lagi. Ada supermarket Coles yang sempat aku singgahi untuk beli cokelat, ada juga ternyata cafe yang menarik yang mungkin akan aku kunjungi kalau ada kesempatan main ke Richmond lagi. Masih ada beberapa bangunan tua yang menambah kesan lawas Richmond dan di satu gang kecil ada seni mural.

Yak, sebentar lagi kereta menuju Cabramatta tiba. Waktunya jalan ke stasiun. Sebenarnya pingin keliling lebih lama karena suka aja sama suasana di Richmond ini. Tapi kalau naik kereta yang setengah jam lagi ntar kemalaman karena dari Richmond ke Cabramatta perlu waktu sekitar 1 1/2 jam.

Semoga tahun ini kita bisa ketemu lagi, Richmond.

Difoto dan direkam dengan Nokia 6